Pesan Keadilan Jelang Putusan Kasus Alih Muat Batu Bara

0 0
Read Time:4 Minute, 53 Second

Kasus perjanjian alih muat batu bara antara PT IMC Pelita Logistik Tbk (IMC) dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE) segera memasuki babak akhir. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batulicin akan membacakan putusannya pada Selasa (5/11/2024).

Kuasa hukum para terdakwa, Sabri Noor Herman meminta kepada majelis hakim dalam memutuskan perkara ini agar sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan. Meski demikian, apabila putusan kelak tak bersesuaian dengan fakta persidangan, pihaknya akan mencari keadilan sesuai jalur yang disediakan oleh Negara. “Kami akan melakukan upaya hukum, baik ke Komisi Yudusial (KY) maupun Badan Pengawasan Mahkamah Agung yang melindungi pencari keadilan,” tegas Sabri dalam keterangannya kepada media, Jumat (01/11).
Sebagai informasi, kontrak bisnis alih muat batubara antara PT IMC Pelita Logistik Tbk dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE) berlangsung pada 1 September 2022 di Kalimantan Timur. SLE di antaranya dinakhodai oleh Tan Paulin, sosok yang ditulis di media massa beberapa waktu sebagai Ratu Batubara di Kalimantan Timur, dan pada Juli 2024 kemarin rumahnya di Surabaya digeledah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan gratifikasi dan TPPU mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari.
Namun, pelaksanaan kontrak bisnis tersebut malah menjadi dakwaan pidana yang menjerat dua mantan Direksi dan juga seorang mantan manajer IMC dengan pasal 404 ayat 1 KUHP. Dakwaan pidana ini juga terkesan dipaksakan mengingat kontrak bisnis merupakan kontrak bisnis alihmuat sedangkan dakwaan pasal 404 KUHP umumnya timbul dalam pelaksanaan perjanjian kredit dalam kaitannya dengan jaminan berupa tanah.
Dalam perkara ini, tiga terdakwa yakni T, II, dan HT didakwakan bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Kalsel dan Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu, melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 404 Ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana yang berbunyi, yakni barang siapa menarik barang milik sendiri atau orang lain yang masih ada ikatan hak gadai, hak pungut hasil, atau hak pakai atas barang tersebut.
JPU menuntut ketiganya dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun. Tak hanya itu, JPU juga menuntut agar Kapal FC Ben Glory yang telah disita oleh pengadilan turut dirampas oleh negara dan diberikan sebagai ganti rugi kepada korbannya, PT SLE.
Perihal dakwaan dan tuntutan pidana itu, Sabri menilai terkesan dipaksakan. Sebabnya, dari fakta hukum dan fakta persidangan, tidak ada yang bisa membuktikan pasal 404 ayat 1 KUHP Pidana. “Kami tanyakan di persidangan ketika saksi pelapor Tan Paulin (Direktur SLE) dan adiknya Denny Irianto (Dirut SLE) menjadi saksi di persidangan, adakah perjanjian lain selain daripada perjanjian jasa alihmuat, keduanya menjawab tidak ada. Jadi, sebenarnya tidak ada dasar menjadi surat dakwaan. Sangat kental sekali pemaksaan,” jelas pengacara senior itu.
Sementara kapal FC Ben Glory adalah milik PT IMC dan bukan milik para terdakwa yang hanya merupakan profesional di perusahaan. Serta, tidak ada fakta hukum yang membuktikan bahwa kapal tersebut diperoleh dari tindak kejahatan atau digunakan untuk kejahatan. “Karena itu dalam nota pembelaan kami meminta agar para terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dan kapal FC Ben Glory dikembalikan kepada IMC, selaku pemilik sahnya,” tegas Sabri.
Pendapat Sabri turut diperkuat oleh Profesor Elfrida Ratnawati Gultom, pakar hukum dari Universitas Trisakti selaku saksi ahli yang meringankan terdakwa. Elfrida dalam kesaksiannya di PN Batulicin beberapa waktu lalu menjelaskan, bahwa perjanjian ini memenuhi unsur-unsur sah perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. “Oleh karena itu, perjanjian alih muat ini masuk ke ranah perdata, bukan pidana, dan segala perselisihan terkait perjanjian tersebut seharusnya diselesaikan melalui mekanisme perdata seperti arbitrase atau musyawarah,” jelas Elfrida.
Elfrida juga menegaskan bahwa para pihak tidak dapat dianggap melakukan pelanggaran hukum atau wanprestasi selama mereka mematuhi isi perjanjian yang telah disepakati. Dalam hal ini, PT IMC tidak diwajibkan untuk menyediakan floating crane Ben Glory di luar permintaan resmi dari PT SLE, dan pemindahan crane ke lokasi lain diperbolehkan selama tidak ada permintaan dari PT SLE. “Tindakan PT IMC ini tidak melanggar perjanjian, melainkan merupakan bagian dari hak dan kebebasan mereka sebagai operator. Ini mencerminkan bahwa PT IMC telah bertindak sesuai dengan ketentuan kontrak dan tidak bisa disalahkan atas kerugian yang mungkin terjadi karena adanya keterlambatan atau ketidaksesuaian di luar kesepakatan,” tegas Elfrida.
Elfrida lebih lanjut menerangkan, selama kontrak diikuti dengan itikad baik dan kesepakatan tidak dilanggar, tidak ada dasar untuk mempidanakan tindakan yang sepenuhnya berada dalam ranah perdata.
Pendapat Elfrida ini turut didukung oleh prinsip hukum yang dikenal sebagai asas “prioritas perdata atas pidana.” Mengutip dari website mahkamahagung.go.id, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1956 pada pasal 1 menerangkan, “Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.” Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam terjadinya perkara perdata dan pidana, maka dapat dilakukan pemutusan terlebih dulu pada perkara perdatanya sebelum memutus perkara pidana.
Argumentasi Sabri dan Elfrida belakangan diperkuat dengan keluarnya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada 20 September 2024 yang, memenangkan PT IMC Pelita Logistik Tbk (IMC) yang berperkara dengan PT Sentosa Laju Energy (SLE) pimpinan Tan Paulin.
Dalam putusan tersebut, Majelis Arbiter BANI memutuskan beberapa hal penting. Yakni, perjanjian jasa alihmuat batu bara dinyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak serta putusan ini bersifat final dan mengikat. BANI juga menyatakan SLE telah melakukan wanprestasi karena gagal menjalankan kewajiban penjadwalan setelah 7 Maret 2023 hingga berakhirnya perjanjian.
Selain itu, SLE juga dinyatakan wanprestasi dalam hal kewajiban pembayaran tagihan dan karenanya wajib membayarkan kerugian materiil yang dialami IMC sebesar Rp1,68 miliar. Serta, SLE diwajibkan membayar bunga moratorium kepada IMC sebesar Rp73 juta. Adapun permohonan ganti rugi, uang paksa, dan sita jaminan yang diajukan oleh SLE dalam perkara yang sama ditolak sepenuhnya oleh Majelis Arbiter. “Keluarnya keputusan Arbitrase dari BANI yang memenangkan IMC ini, mengukuhkan bahwa kasus jasa alihmuat batu bara ini berada di ranah yang tepat yakni kasus perdata, bukan pidana. Tak ada yang dilanggar di perjanjian, apalagi melakukan perbuatan pidana,” tegas Sabri.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %